Thursday, July 15, 2010

KOTAK MUSIK, MUSIK DALAM KOTAK (*tentang Ambon Kota Musik )

  
memperbaiki diri dimulai dengan mengetahui apa yang salah
itulah yang ditulis orang muda ambon ini (every [*] sign  write by admin)

oleh : 
Morika Tetelepta (*member of Molluca Hip Hop Community / MHC)
  Yesterday 13 Juli 2010 at 12:02am

Kota kita bukan kota musik. Kota kita adalah kotak musik.
Ia bernyanyi, bersenandung di dalam kegelapan

Ambon adalah kota musik Indonesia. Jawaban ya atau tidak, itu terserah anda. Tapi bagi Karel Albert Ralahalu jawabannya adalah ya.

Inilah pernyataan Ralahalu di kediamannya ketika menjamu tamu-tamu yang akan memeriahkan festifal Ambon Jazz Plus 2009 di kota Ambon. Hadir pada malam itu sejumlah musisi dari berbagai belahan dunia. Michael Sembello (Amerika Serikat), Wilkins Ramirez (Puerto Rico), Massada (Belanda) dan Soul ID (Indonesia) serta beberapa musisi lokal.

Jika pertanyaan di atas ditanyakan kepada saya, maka jawabannya bukan ia atau tidak. Jawaban saya adalah apakah mungkin Ambon kota musik Indonesia? Saya tidak skeptis dalam hal ini. Tidak juga munafik. Ambon bukan kota musik. Ambon hanyalah kota. tanpa embel-embel musik di belakangnya.


Sebagai kota musik, Ambon –dan juga Ralahalu- harus belajar pada Ghent, Seville, Bologna ataupun Glasgow. Jika kalian bertanya mengapa, maka jawabannya adalah kota-kota tersebut benar-benar kota musik. Kota-kota yang tidak hanya melahirkan pemusik dan karya-karya musik hebat sepanjang perjalanan sejarah meraka. Kota-kota tersebut juga bertanggung jawab atas kelahiran dan pertumbuhan musik di tanah mereka sendiri.

Sebutlah Ghent sebagai sebuah kota kecil di Belgia yang bahkan tidak terlalu menonjol dibandingkan kota-kota Belgia lainnya. Tahun lalu Ghent dinobatkan oleh UNESCO sebagai kota musik dunia. Ghent pantas berbangga dengan pencapaian ini. Bayangkan saja kota yang penduduknya lebih sedikit dari Ambon ini memiliki begitu banyak infrastruktur penunjang bagi pertumbuhan industri-industri musik. Lusinan concert hall ada di sana. Belum lagi sejumlah konsorsium-konsorsium musik, pusat-pusat pendikan yang memberikan muatan-muatan khusus pada dunia musik, ruang-ruang kreasi yang tak terhitung jumlahnya, serta yang tak kalah penting kota ini memberikan dukungan penuh terhadap karya-karya musik yang lahir dari pemusik yang ada. Bukti nyatanya adalah apresiasi yang ditunjukan pada Festival of Flander yang dimeriahkan oleh musisi-musisi dari berbagai genre.

Di atas adalah Ghent dan saya tidak perlu untuk meyebutkan kota-kota musik lainya seperti Seville, Bologna atau Glasgow. Saya yakin kota-kota tersebut akan cukup membuat kita iri jika kota Ambon sebagai kota musik pada akhirnya akan saya perbandingkan di sini. Saya tidak ingin membandingkan Ambon dengan kota-kota di atas. Sebab sudah saya sebutkan bahwa Ambon hanyalah kota, tanpa embel-embel apapun di belakangnya.

Sebenarnya kita bisa seperti Ghent dan yang lain. Yang kita butuhkan sekarang adalah lebih keras berusaha. Lebih banyak berlajar, dan berhenti menghabiskan uang untuk hal-hal yang tidak penting.

Saya melihat di Ambon ada begitu banyak orang-orang muda yang berbakat. Saya tidak berbohong. Hampir setiap minggu kalian juga melihatnya. Coba bayangkan, apa yang dapat kita lakukan dengan begitu banyak orang-orang muda –yang berlatih dengan serius 2 kali seminggu atau bahkan lebih- yang terlibat dalam group-group vokal dan paduan suara di gereja. Kalian juga tahu bahwa di Ambon kita memilki bagitu banyak orang-orang yang dapat memaikan alat-alat musik baik yang profesional atau bahakan amatir. Paduan-paduan suling dan trumpet yang setiap minggu kita saksikan telah cukup banyak membenarkan pernyataan saya bukan?

Ada sekian banyak lagi yang tidak dapat saya sebutkan. Kita hanya butuh kerja keras. Latihan 2 kali seminggu untuk pentas di gereja tidaklah cukup. Kalian butuh seseuatu yang lebih. Berlatih yang lebih keras bukan hanya untuk tampil di geraja saja.

Saya mengatakan berlatih lebih keras. Ini berarti juga belajar lebih banyak dari apa yang yang sudah diketahui. Mari bersikap seperti orang bodoh. Sebagai penyayi dan pemain musik yang tidak tahu apa-apa. Belajarlah lebih banyak. Dengarkan semua musik yang dapat kalian dengar. Itulah buku-buku pelajaran kalian. Belajarlah bab demi bab. Hafalkan setaiap noktah, maknai tiap irama. Renungkan siang dan malam. Sebab kita semua tidak ingin berakhir hanya di balkon gereja atau pentas-pentas ketika hari-hari besar gerejawi dilakukan. Saya bicara tentang sebuah hal yang besar yang dapat kita capai jika kita belajar lebih banyak. Mari melompat ke level yang lebih tinggi. Saya tahu kalian punya mimpi akan hal-hal baik dan luar biasa. Wujudkan itu dan jangan kerdilkan mimpi kalian.

Apa yang saya sayangkan dari Ambon yaitu kita terlalu banyak menghabiskan energi –juga uang- untuk hal yang tidak terlalu penting dan mendesak. Saya mengenal banyak orang-orang muda yang memiliki bakat bermusik namun hanya berjalan di tempat. Hanya karena terlalu sibuk dengan hal-hal yang sama sekali tidak bersentuhan dengan musik. Contoh sederhannya adalah hampir semua orang-orang muda di Ambon dengan jenjang umur 15-25 tahun memiliki akun Facebook dan paling sedikit menghabiskan 30-60 menit –atau bahkan lebih- di depan layar monitor di cafe-café internet. Dan apa yang dilakukan adalah waktu tersebut hanya dihabiskan dengan Facebook dan hal-hal remeh-temeh lainnya. Bayangkan apa yang akan terjadi jika setengah saja dari waktu mereka digunakan untuk berselancar di situs-situs musik yang memberikan pelajaran gratis tentang bagaimana membuat musik yang bagus atau mendaptkan sound yang baik dengan proses mixing yang sempurna atau memperkaya pengetahuan dengan mendengar referensi musik yang hebat dari segala penjuru dunia. Inilah faktanya. Terlalu banyak energi dan uang yang dibuang untuk hal yang tidak tepat.

Satu lagi yang saya sayangkan dari kota Ambon adalah pemborosan sejumlah uang dengan nominal besar hanya untuk sebuah institusi Taman Budaya yang perannya tidak bagitu signifikan. Baru-baru ini Taman Budaya Ambon melakukan pertunjukan kebudayaan di negeri kincir angin Belanda. Puluhan orang termasuk pemain musik, penari dan official berbondong-bondong ke sana. Berapa banya uang yang dihabiskan di sana? Saya tidak tahu. Saya tidak iri . Tidak juga menulis karena sakit hati. Saya hanya marah. Marah terhadap Taman Budaya dan juga pemerintah.

Taman Budaya telah menjadi sebuah –katakanlah sebagai- menara gading di puncak Karang Panjang sana. Sebab yang terlihat hanyalah gedung yang sunyi. Ambon sunyi sebab Taman Budaya juga sunyi. Mereka tidak bernyanyi lagi. Mereka sudah berhenti melahirkan karya-karya. Gedung-gedung itu seharusnya menjadi pusat ruang-ruang kreatif tanah ini. Lumbung orang-orang gila yang kreatif. Sekarang yang ada hanya gedung-gedung yang terisi orang-orang gila. Kreatifitasnya entah lari ke mana.

Anehnya, pemerintah tetap saja mengalirkan uang mereka ke sana. Ke gedung-gedung dan orang-orang yang sudah impoten. Padahal jika mereka sempat melihat ke luar tentu mereka akan menyesal telah membuang uang begitu banyak dengan hasil yang berbanding terbalik.

Di luar ada begitu banyak bakat dari orang-orang muda yang siap menjadi gila dan kreatif. Anak-anak di gereja seperti yang saya contohkan di atas misalnya. Jika pemernitah kita serius menjadikan Ambon sebagi kota musik, kenapa bakat-bakat di atas tidak diperhitungkan? Atau jika mereka jeli melihat pertumbuhan seniman-seniman muda dan komunitas-komunitas musik, sastra, teater, dll yang menjamur balakangan ini, tentu mereka akan kaget dan menyesal.

Kenyataannya tentu berbeda jika pemerintah mau serius. Keseriusan yang sama ketika menetapkan Ambon sebagai kota musik juga harus diikuti dengan kseriusan memperhatikan perkembangan musik dan ruang-ruang kreatif yang semakin banyak bertumbuh. Oleh sebab itu mulai dari sekarang berhentilah membuang uang dan energi untuk hal yang tidak kelihatan manfaatnya. Jika Ralahalu mengatakan bahwa Ambon kota musik, maka marilah bersikap serius dengan hal ini. Ciptakanlah ruang-ruang kreatif, apresiasilah karya-karya orang-orang muda Ambon, bangun infrastruktur yang menunjang dan merangsang pertumbuhan seniman-seniman muda. Seriuslah dalam hal ini. Itu saja. Ide sederhana namun punya dampak yang baik.

Sejujurnya, saya bangga dengan seniman-seniman muda di kota Ambon. Mereka tumbuh tanpa bantuan dari pemerintah yang seharusnya menjadi orang tua untuk mengawal dan mendukung pertumbuhan mereka. Seniman-seniman muda tetap bersemangat dengan apa yang mereka miliki, walaupun sangat minim. Saya bangga dengan filosofi yang mendasari semangat mereka berkaya. Memaksimalkan yang minim. Luar biasa, Semangat yang baik untuk sebuah perubahan.

Ambon, 13 Juli 2010

2 comments:

tero2_boshu said...

baca komentar-komentar soal tulisan KOTAK MUSIK, MUSIK DALAM KOTAK... di alamat faceook ini. lebih lengkap ! http://www.facebook.com/#!/notes/morika-tetelepta/kotak-musik-musik-di-dalam-kotak/418401233587

agentaruhanbolavita said...

Kami BOLAVITA Agen Live Casino Terpercaya!
Dapatkan Bonus Rollingan Casino 0.5% - 0.7% Setiap Minggu Diberikan Pada Pemain Casino Baik Menang ataupun Kalah.
Free Chips s/d IDR 1.000.000,- Menyambut Malam Tahun Baru 2019..
Daftar Sekarang Juga Di Website www. bolavita .site

Boss Juga Bisa Kirim Via :
Wechat : Bolavita
WA : +62812-2222-995
Line : cs_bolavita
BBM PIN : BOLAVITA ( Huruf Semua )

Post a Comment