Wednesday, July 31, 2013

Saat Hujan Turun Lagi.




Maluku bukan hanya tanah tete-nene moyang (leluhur). Maluku juga adalah tanah kita, manusia zaman ini. Dan, Maluku yang satu saja ini, terutama adalah tanah anana cucu(anak cucu).

Sebagaimana setiap generasi adalah generasi antara, maka kita yang hidup sekarang sesungguhnya memikul tanggung jawab ganda: tanggung jawab kepada tete-nene moyangdan tanggung jawab kepada anana cucu. Akan tetapi dalam tegangan dua tanggung jawab itu, kita telah lancang mengklaim tanah ini sebagai yang cuma milik kita.

Orang Maluku tahu betul apa yang dimaksudkan mereka ketika menyebut kata ‘tanah’, atau ‘gunung tanah’. Tanah, bagi orang Maluku, bukan sekedar tanah. Tanah adalah segala sesuatu yang hidup dari dalamnya, segala yang ‘ada’, yang tumbuh dan berkembang, juga yang mengalir di sana.  Tanah adalah manusia-manusia; sejarah dan kenangannya. Tanah juga adalah janji-janji, bahkan tanah itu adalah dirinya. Keterikatan orang Maluku yang amat kuat dengan tanahnya bisa ditemukan di kapata-kapata lama, lagu-lagu, dan puisi-puisi, juga dalam rasa rindu di dada semua orang Maluku di rantau. Mereka selalu ingin pulang ke Maluku.

Kita, orang Maluku, mengenal banyak mitos yang mempengaruhi dan menata sikap kita kepada tanah ini. Kita juga mengenal budaya yang diwariskan yang, dalam cara-cara tertentu, memperlakukan alam dengan santun dan hormat sebagai yang sakral. Namun, semenjak kita merasa sudah terlalu pintar untuk tidak mungkin lagi mempercayai mitos, dan merasa terlalu moderen untuk tidak mau lagi menghidupi budaya usang itu, tanah ini sudah tak lagi sama. Ia tidak lagi menjadi ‘yang berpribadi’,  ia hanyalah tanah. Barangkali ada yang hilang dari pendidikan (apa yang kita ajarkan lewat kata dan perbuatan) hari ini.

Dalam agama-agama abrahamik orang mengenal istilah ‘tanah suci’, atau ‘tanah leluhur’. Semenjak kita memeluk salah satu dari agama-agama ini, kita menganggap perlakuan khusus kepada tempat-tempat keramat sebagai nista kepada Allah dan tak lagi mempercayainya. Dan, semenjak tanah yang suci itu cuma ada di sebuah negeri nun di sana, maka tiada apa-apa lagi yang sakral dari kepala-kepala air, tiada apa-apa lagi yang suci dari pohon-pohon dan hutan yang melindungi sungai, juga gunung-gunung. Apa yang sakral, yang suci, dari tanah ini lenyaplah sudah. Kita merasa bersyukur mengenal agama-agama itu, dan bahwa agama-agama itu menuntun kita menjadi manusia yang lebih bermartabat. Tetapi barangkali ada yang belum beres dengan cara kita beragama.

Apa yang tampak belakangan ini adalah ketiadaan standar-standar etik yang menantang dan menuntun kita untuk mengendalikan hasrat untuk memuaskan diri sendiri. Itu terlihat jelas dalam tindak-tanduk yang eksploitatif dan yang semena-mena. Kira-kira setahun yang lalu saya pernah menulis catatan kecil berjudul “Hidup orang basudara dan ekologi”. Sebuah gugatan yang secara mendasar bertujuan memperlebar horizon percakapan falsafah “hidup orang basudara”, yang marak pasca konflik itu, untuk menjamah juga persoalan-persoalan ekologis. Apa yang coba saya gugat di situ diungkap secara padat oleh Muh. Burhanudin Borut hari ini:

“Pohon yang kita tebas untuk jadi rumah, lumpur yang tergerus dari hutan yang kita gusur mengendap di hulu sungai. Kita dengan tak sengaja menghukum saudara sendiri.”

Serentak dengan ketiadaan standar-standar etik itu, standar-standar moral yang menggugah tanggung jawab iman kita kepada sang pencipta dalam hal membina relasi yang saling menghidupkan dengan alam dan sesama pun kian pudar. Maka tepat di sinilah keraguan kita terhadap pendidikan dalam bingkai yang lebih luas dan keraguan kita terhadap keberagamaan kita selayaknya muncul. Apa yang sudah kita ajarkan, melalui kata dan perbuatan, kepada anak-anak kita? Apa yang dikehendaki Allah dari kita dalam kondisi semacam ini? Apa yang harus kita perbuat? Ini persoalan besar yang takkan selesai jika diatasi dalam periode tertentu sebab jika kita menerungkannya dalam-dalam pertanyaan ini telah menjelma menjadi tanggung jawab hidup manusia.

Hidup di antara tegangan masa lampau dan masa depan dan dengan tanggung jawab – tanggung jawab iman kepada Allah, tanggung jawab etik kepada warisan tete-nene moyangdan kepada hidup anana cucu, juga kepada alam – mengharuskan kita, anak-anak zaman ini, untuk menjadi manusia yang peduli.

Apa yang baru saja saya baca dari ‘kicauan’ Muh. Burhanudin Borut di twittermenggambarkan dengan gamblang bagaimana peristiwa-peristiwa dari masa lampaumendatangi kita dan menuntut tanggung jawab kita. “Dampak konflik lalu” telah memicu relokasi pemukiman yang, tanpa kita perhatikan, telah membuat kawasan hutan di bagian gunung semakin mengecil. Ratusan hektar hutan konservasi sudah beralih fungsi menjadi wilayah pemukiman. Perpindahan-perpindahan penduduk yang tidak berimbang mengakibatkan, apa yang disebut Mohammad Irfan Ramly, “penumpukkan penduduk di sekitar kota” sehingga mendesak pembangunan rumah tempat tinggal. Dan, seperti yang kita saksikan setiap hari, lereng-lereng gunung yang rawan longsor pun ‘terpaksa’ ditempati. Bersama-sama dengan itu ada pula persoalan ‘badaki’ yang secara masif melumpuhkan drainase.

Banjir yang selang dua tahun ini sudah dua kali menimpa kita, mungkin bisa diprediksikan sebagai yang akan berulang, jika kita tidak mulai berbenah diri. Kata ‘kita’ di sini menunjuk batang hidung saya, batang hidung kamu, batang hidung para pendeta dan imam, batang hidung para guru dan dosen, dan batang hidung pemerintah. Saya tidak bermaksud mengarahkan pemikiran kita untuk pada akhirnya tiba pada suatu kesimpulan untuk akhirnya mengambil tindakan berdasarkan rasa takut, melainkan sebaliknya. Tindakan berbenah ini harus secara sadar kita ambil atas dasar-dasar tanggung jawab etik dan moral.

Tahun lalu kota Ambon dan sekitarnya dilanda banjir persis tanggal 1 Agustus. Tahun ini tanggal 30 Juli. Seperti dalam perang; siapa tidak siap sudah pasti akan menderita kekalahan. Waktu yang tersedia bagi kita tidaklah lama sedangkan di sana tergantung kemungkinan-kemungkinan kerusakan alam yang lebih parah dan yang berbanding lurus dengan kemungkinan-kemungkinan derita (saudara) kita jika banjir terjadi lagi. Pembenahan segera adalah mutlak dan wajib bagi semua, sebab kesiapan kita tiada berarti jika dilakukan sendiri-sendiri, apalagi terpisah. Untuk ‘perang’ yang serupa ini, kesiapan tersebut mensyaratkan keutuhan. Akan tetapi sampai di baris terakhir ini pun kita masih dihadang pertanyaan, “Apakah banjir ini dapat kita anggap ‘musuh’ bersama?” Sungguh pertanyaan yang gampang dijawab ini membutuhkan sesuatu yang lebih dari sekedar sadar dan niat, sebab barangkali banjir yang melanda Ambon kali ini masih membuat sebagian dari kita hanya bangun tidur dan 'bersyukur' karena tidak mengalaminya, lalu kembali tidur saat hujan turun lagi.

1 comments:

agentaruhanbolavita said...

Kami BOLAVITA Agen Live Casino Terpercaya!
Dapatkan Bonus Rollingan Casino 0.5% - 0.7% Setiap Minggu Diberikan Pada Pemain Casino Baik Menang ataupun Kalah.
Free Chips s/d IDR 1.000.000,- Menyambut Malam Tahun Baru 2019..
Daftar Sekarang Juga Di Website www. bolavita .site

Boss Juga Bisa Kirim Via :
Wechat : Bolavita
WA : +62812-2222-995
Line : cs_bolavita
BBM PIN : BOLAVITA ( Huruf Semua )

Post a Comment