Nasionalisme pada masa penjajahan dipahami sebagai dalang dari gerakan pembebasan atau kemerdekaan Indonesia dan negara-negara koloni lainnya. Nasionalisme, baik secara politis atau filosofis, adalah kekuatan yang mengikat diri menjadi satu dalam pandangan bahwa kesejahteraan negara-bangsa adalah entitas yang paling penting. Nasionalisme mendasarkan diri pada pemikiran atau kesadaran kolektif di mana semua orang percaya bahwa kesetiaan dan tugas utama mereka adalah negara-bangsa.
Di samping itu, sejarah nasionalisme bukan sejarah tanpa sisi gelap. Nasionalisme pada sisi eksternalnya menyiratkan soperioritas kebangsaan sehingga mengutamakan kepentingan bangsa sendiri lalu mengesampingkan hak-hak bangsa lain. Hal ini cenderung menyebabkan konflik internasional. Kita bisa melihat perjalanan bangsa Israel dalam Alkitab (umat pilihan) dan pembantaian massal bangsa Yahudi oleh Nazi sebagai contohnya. Sedangkan pada sisi internalnya, nasionalisme terlampau mengutamakan ikatan bersama sebagai suatu negara-bangsa sehingga hal lain yang dianggap dapat mengalihkan perhatian masyarakat dari kesadaran bersama ini tidak diizinkan. Sisi gelap nasionalisme ini memang berbahaya dan perlu dicermati secara kritis.
Sebagai negara-bangsa yang sudah merdeka dan hidup berdampingan dengan bangsa-bangsa lain, sejauh ini kita tidak mengalami masalah yang cukup genting dengan negara-negara di sekitar kita. Namun saya kira masalah perbatasan dan klaim atas pulau-pulau terluar Indonesia perlu dituliskan supaya kita tidak berkesimpulan bahwa kita sama sekali tidak punya masalah dengan negara-negara di sekitar kita. Kita, Indonesia, adalah bangsa yang memang cenderung tidak merasa diri superior karena itu kita tidak banyak membuat onar dunia internasional dengan sengketa-sengketa atau perang dengan bangsa lain. Dalam amatan saya, nasionalisme kita terluput dari sisi gelap eksternalnya. Kita tidak merasa superior, namun kita tetap memandang harga diri bangsa sebagai hal yang penting.
Secara initernal, ada beberapa hal yang menurut saya perlu dipandang sebagai persoalan nasionalisme kita hari ini khususnya bagi orang Maluku. Kita semua tahu bahwa pada tahun 1950, tepatnya di bulan April, Republik Maluku Selatan mendeklarasikan dirinya dengan menggalang semangat etnosentrisme. Semangat etnosentrisme ini sudah pasti mengambil latar kultur dan semangat kultural sebagai pengikat. Hal ini dapat dilihat dari nama yang dipakai yakni Republik Maluku Selatan. Daerah Maluku Selatan dalam pandangan administratif Belanda adalah wilayah yang dibagi berdasarkan kesamaan adat-istiadat dan budaya yang berada di sepanjang pesisir Selatan dan Timur Pulau Seram serta beberapa pulau lain di sekitarnya. Hal ini digunakan juga oleh para elit RMS untuk menggalang dukungan berdasarkan kesamaan tersebut. Mengambil latar belakang yang demikian, membuat budaya setempat menjadi kekuatan penting untuk mengikat dan memicu semangat ditambah dengan sedikit propaganda anti-jawa. Pada tahun yang sama RMS berhasil ditaklukkan oleh TNI setelah sebelumnya telah diupayakan berbagai jalan damai yang dimediasi oleh pemerintah RI dan Belanda.
Penjuangan untuk menjadi negara independen yang memanfaatkan energi budaya dengan penekanan pada semangat etnis ini dalam bentuknya yang konkrit menggunakan kekayaan budaya dan karena itu budaya setempat cenderung diasosiasikan dengan gerakan politis RMS. Bahasa dan idiom-idiom bahkan lagu-lagu tertentu yang sesungguhnya adalah milik masyarakat lokal telah terkena stigma hanya karena pernah digunakan oleh RMS untuk menggalang dukungan yang etnosentris. Hal ini tentu memiliki latar belakang yang lain, namun yang berdampak paling signifikan terhadap stigma ini adalah bahwa hal-hal itu pernah menjadi bagian dari pergerakan politis RMS. Kita masih beruntung, sampai hari ini masih bisa menyebut dan memperkenalkan “budaya Pela”, masih bisa menggunakan marga, dan lain sebagainya dengan bangga sebab “pela”, marga dan berbagai hal itu tidak distigma oleh kekuasaan sebagai salah satu energi budaya yang pro RMS. Padahal, J. A. Manusama salah satu tokoh kunci pergerakan RMS pun pernah menggunakan “Pela”, marga, adat-istiadat dan budaya sebagai instrumen propaganda politis RMS yang dibungkusnya dalam istilah “persaudaraan” (brothership). Berikut ini penggalan kalimat dalam pidatonya yang saya kutip dari desertasi Kathleen Therese Turner yang berjudul “Competing Myths of Nationalist Identity: Ideological Perceptions of Conflict in Ambon, Indonesia” :[1]
“The RMS neither Islamic or Christian, because in the Moluccas the relationship between Islam and Christianity is like that of brothers, not only the pela relationship, both communities have the same family names and share the same adat-istiadat and culture.”
Kenyataan ini tentu menyisakan beban bagi kehidupan masyarakat Maluku, khususnya Maluku Tengah dan Ambon pada hari ini. Sebab bagi saya setiap orang memiliki kebutuhan akan identitas diri yang secara umum mengakar dalam budaya (bahasa, seni, agama, dlsb). Kita toh tidak akan pernah menjadi manusia Indonesia secara penuh tanpa menjadi manusia Maluku. Untuk menjadi manusia Maluku yang otentik sekarang ini kita diperhadapkan dengan rambu-rambu politik dan keamanan nasional yang cenderung menjadi lampu merah bagi berbagai upaya eksplorasi budaya dalam rangka penemuan identitas diri, sebab eksplorasi budaya sudah pasti berjumpa dengan bahasa dan adat-istiadat.
Keadaan yang demikian mencerai-beraikan kita dari budaya sendiri dan menempatkan kita pada posisi yang kehilangan identitas sebab identitas kita selalu memiliki akar dalam budaya. Apa yang membedakan kita, manusia Maluku dengan manusia Jawa atau Batak atau lainnya adalah budaya kita. Budaya kita terinternalisasi dalam kesadaran individu dan kolektif lalu mewujud dalam cara pandang, sikap dan perilaku yang sudah pasti berbeda dengan manusia lain yang juga hidup dalam budaya yang berbeda. Kenyataan yang demikian membuat saya berkesimpulan bahwa sebelum berbicara mengenai nasionalisme yang mengikat berbagai manusia dengan latar budaya dan kepentingan yang berbeda-beda ke dalam suatu kesadaran dan keyakinan bahwa negara-bangsa adalah tugas utama, maka kita perlu membersihkan budaya kita dari stigma tertentu yang merugikan diri kita sendiri sebab memiliki kesadaran dan keyakinan bersama bahwa negara-bangsa adalah yang utama dalam konteks stigma budaya semacam ini membuat kita harus terpaksa harus memilih negara atau negeri. Padahal ini adalah pilihan yang tidak wajib bagi kita, orang Maluku (dalam konteks ini, khususnya Maluku Tengah) yang hidup hari ini, sebab kita masih punya pilihan lain yang lebih bijak. Pilihan itu adalah menjadi manusia Maluku yang Indonesia sehingga kita tidak perlu berhadap-hadapan dengan negara atau negeri sendiri ketika memilih salah satu, sebab dengan menjadi benar-benar Maluku maka kita menjadi benar-benar Indonesia.
Untuk menjadi yang manusia Maluku yang Indonesia, kita perlu menjernihkan sumber identitas kita yang sejauh ini masih tercemar stigma akibat beban sejarah masa lalu sehingga kita dapat dengan leluasa mengeksplorasi, menginternalisasi, dan mengaktualisasi diri sebagai manusia Maluku yang cinta adat-istiadat dan budaya yang serentak cinta Indonesia.
Di samping itu, sejarah nasionalisme bukan sejarah tanpa sisi gelap. Nasionalisme pada sisi eksternalnya menyiratkan soperioritas kebangsaan sehingga mengutamakan kepentingan bangsa sendiri lalu mengesampingkan hak-hak bangsa lain. Hal ini cenderung menyebabkan konflik internasional. Kita bisa melihat perjalanan bangsa Israel dalam Alkitab (umat pilihan) dan pembantaian massal bangsa Yahudi oleh Nazi sebagai contohnya. Sedangkan pada sisi internalnya, nasionalisme terlampau mengutamakan ikatan bersama sebagai suatu negara-bangsa sehingga hal lain yang dianggap dapat mengalihkan perhatian masyarakat dari kesadaran bersama ini tidak diizinkan. Sisi gelap nasionalisme ini memang berbahaya dan perlu dicermati secara kritis.
Sebagai negara-bangsa yang sudah merdeka dan hidup berdampingan dengan bangsa-bangsa lain, sejauh ini kita tidak mengalami masalah yang cukup genting dengan negara-negara di sekitar kita. Namun saya kira masalah perbatasan dan klaim atas pulau-pulau terluar Indonesia perlu dituliskan supaya kita tidak berkesimpulan bahwa kita sama sekali tidak punya masalah dengan negara-negara di sekitar kita. Kita, Indonesia, adalah bangsa yang memang cenderung tidak merasa diri superior karena itu kita tidak banyak membuat onar dunia internasional dengan sengketa-sengketa atau perang dengan bangsa lain. Dalam amatan saya, nasionalisme kita terluput dari sisi gelap eksternalnya. Kita tidak merasa superior, namun kita tetap memandang harga diri bangsa sebagai hal yang penting.
Secara initernal, ada beberapa hal yang menurut saya perlu dipandang sebagai persoalan nasionalisme kita hari ini khususnya bagi orang Maluku. Kita semua tahu bahwa pada tahun 1950, tepatnya di bulan April, Republik Maluku Selatan mendeklarasikan dirinya dengan menggalang semangat etnosentrisme. Semangat etnosentrisme ini sudah pasti mengambil latar kultur dan semangat kultural sebagai pengikat. Hal ini dapat dilihat dari nama yang dipakai yakni Republik Maluku Selatan. Daerah Maluku Selatan dalam pandangan administratif Belanda adalah wilayah yang dibagi berdasarkan kesamaan adat-istiadat dan budaya yang berada di sepanjang pesisir Selatan dan Timur Pulau Seram serta beberapa pulau lain di sekitarnya. Hal ini digunakan juga oleh para elit RMS untuk menggalang dukungan berdasarkan kesamaan tersebut. Mengambil latar belakang yang demikian, membuat budaya setempat menjadi kekuatan penting untuk mengikat dan memicu semangat ditambah dengan sedikit propaganda anti-jawa. Pada tahun yang sama RMS berhasil ditaklukkan oleh TNI setelah sebelumnya telah diupayakan berbagai jalan damai yang dimediasi oleh pemerintah RI dan Belanda.
Penjuangan untuk menjadi negara independen yang memanfaatkan energi budaya dengan penekanan pada semangat etnis ini dalam bentuknya yang konkrit menggunakan kekayaan budaya dan karena itu budaya setempat cenderung diasosiasikan dengan gerakan politis RMS. Bahasa dan idiom-idiom bahkan lagu-lagu tertentu yang sesungguhnya adalah milik masyarakat lokal telah terkena stigma hanya karena pernah digunakan oleh RMS untuk menggalang dukungan yang etnosentris. Hal ini tentu memiliki latar belakang yang lain, namun yang berdampak paling signifikan terhadap stigma ini adalah bahwa hal-hal itu pernah menjadi bagian dari pergerakan politis RMS. Kita masih beruntung, sampai hari ini masih bisa menyebut dan memperkenalkan “budaya Pela”, masih bisa menggunakan marga, dan lain sebagainya dengan bangga sebab “pela”, marga dan berbagai hal itu tidak distigma oleh kekuasaan sebagai salah satu energi budaya yang pro RMS. Padahal, J. A. Manusama salah satu tokoh kunci pergerakan RMS pun pernah menggunakan “Pela”, marga, adat-istiadat dan budaya sebagai instrumen propaganda politis RMS yang dibungkusnya dalam istilah “persaudaraan” (brothership). Berikut ini penggalan kalimat dalam pidatonya yang saya kutip dari desertasi Kathleen Therese Turner yang berjudul “Competing Myths of Nationalist Identity: Ideological Perceptions of Conflict in Ambon, Indonesia” :[1]
“The RMS neither Islamic or Christian, because in the Moluccas the relationship between Islam and Christianity is like that of brothers, not only the pela relationship, both communities have the same family names and share the same adat-istiadat and culture.”
Kenyataan ini tentu menyisakan beban bagi kehidupan masyarakat Maluku, khususnya Maluku Tengah dan Ambon pada hari ini. Sebab bagi saya setiap orang memiliki kebutuhan akan identitas diri yang secara umum mengakar dalam budaya (bahasa, seni, agama, dlsb). Kita toh tidak akan pernah menjadi manusia Indonesia secara penuh tanpa menjadi manusia Maluku. Untuk menjadi manusia Maluku yang otentik sekarang ini kita diperhadapkan dengan rambu-rambu politik dan keamanan nasional yang cenderung menjadi lampu merah bagi berbagai upaya eksplorasi budaya dalam rangka penemuan identitas diri, sebab eksplorasi budaya sudah pasti berjumpa dengan bahasa dan adat-istiadat.
Keadaan yang demikian mencerai-beraikan kita dari budaya sendiri dan menempatkan kita pada posisi yang kehilangan identitas sebab identitas kita selalu memiliki akar dalam budaya. Apa yang membedakan kita, manusia Maluku dengan manusia Jawa atau Batak atau lainnya adalah budaya kita. Budaya kita terinternalisasi dalam kesadaran individu dan kolektif lalu mewujud dalam cara pandang, sikap dan perilaku yang sudah pasti berbeda dengan manusia lain yang juga hidup dalam budaya yang berbeda. Kenyataan yang demikian membuat saya berkesimpulan bahwa sebelum berbicara mengenai nasionalisme yang mengikat berbagai manusia dengan latar budaya dan kepentingan yang berbeda-beda ke dalam suatu kesadaran dan keyakinan bahwa negara-bangsa adalah tugas utama, maka kita perlu membersihkan budaya kita dari stigma tertentu yang merugikan diri kita sendiri sebab memiliki kesadaran dan keyakinan bersama bahwa negara-bangsa adalah yang utama dalam konteks stigma budaya semacam ini membuat kita harus terpaksa harus memilih negara atau negeri. Padahal ini adalah pilihan yang tidak wajib bagi kita, orang Maluku (dalam konteks ini, khususnya Maluku Tengah) yang hidup hari ini, sebab kita masih punya pilihan lain yang lebih bijak. Pilihan itu adalah menjadi manusia Maluku yang Indonesia sehingga kita tidak perlu berhadap-hadapan dengan negara atau negeri sendiri ketika memilih salah satu, sebab dengan menjadi benar-benar Maluku maka kita menjadi benar-benar Indonesia.
Untuk menjadi yang manusia Maluku yang Indonesia, kita perlu menjernihkan sumber identitas kita yang sejauh ini masih tercemar stigma akibat beban sejarah masa lalu sehingga kita dapat dengan leluasa mengeksplorasi, menginternalisasi, dan mengaktualisasi diri sebagai manusia Maluku yang cinta adat-istiadat dan budaya yang serentak cinta Indonesia.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1] Kathleen Therese Turner, “Competing Myths of Nationalist Identity: Ideological Perceptions of Conflict in Ambon Indonesia”, Murdoch University, Desertation, 2006, hlm. 128.
[1] Kathleen Therese Turner, “Competing Myths of Nationalist Identity: Ideological Perceptions of Conflict in Ambon Indonesia”, Murdoch University, Desertation, 2006, hlm. 128.
as it grabed from : wesly john blog
2 comments:
Bu Wes, kalau mau dipikir-pikir ulang dalam tatanan logika praksis..fenomena kemerdekaan dan nasionalisme mungkin jauh berbeda. 1. Politik Internasional memungkinkan kemerdekaan. 2. Semua suku dan daerah membelah diri dari rasa kemanusiaannya. Nasionalisme tidak punya sumbangan dari segi praksis.
Stigma memang menjadi memang menjadi tantangan yang cukup berat untuk membangun reruntuha budaya Maluku. 1). Melawan Stigma Politik. 2. Stigma Agama.
Membangun nasionalisme dengan Identitas Kultural dari pendekatan yang beta pahami ini juga agak susah. Artinya kalau di hitung2 negera ini telah mengikat kita dengan nasionalisme kosong.
Pikiran mantap e!!
Kami BOLAVITA Agen Live Casino Terpercaya!
Dapatkan Bonus Rollingan Casino 0.5% - 0.7% Setiap Minggu Diberikan Pada Pemain Casino Baik Menang ataupun Kalah.
Free Chips s/d IDR 1.000.000,- Menyambut Malam Tahun Baru 2019..
Daftar Sekarang Juga Di Website www. bolavita .site
Boss Juga Bisa Kirim Via :
Wechat : Bolavita
WA : +62812-2222-995
Line : cs_bolavita
BBM PIN : BOLAVITA ( Huruf Semua )
Post a Comment